Ibadah
haji dan umrah, selain merupakan rukun Islam yang kelima, juga
merupakan satu-satunya ibadah yang berdimensi internasional, umat Islam
dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tempat yang sama. Sejak
melepas pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram sampai berakhir, itu
semua mengandung makna. Begitu pakaian ihram dikenakan, kita tanggalkan
semua atribut dunia dan hanya memakai pakaian putih tak berjahit.
Kita siap mati menghadap Allah dan meninggalkan semua yang kita miliki di dunia. Artinya, peneguhan semangat tauhid dengan hanya mengagungkan Allah. Tidak ada kelebihan satu orang dengan yang lain, baik warna kulit, pangkat atau hartanya.
Sesudah itu Rasulullah saw. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Kakbah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah saw. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.
Kita siap mati menghadap Allah dan meninggalkan semua yang kita miliki di dunia. Artinya, peneguhan semangat tauhid dengan hanya mengagungkan Allah. Tidak ada kelebihan satu orang dengan yang lain, baik warna kulit, pangkat atau hartanya.
Terkait dimensi internasional ibadah umrah dan haji, perjalanan haji dan umrah mengandung 7 hikmah. Pertama,
tauhid, artinya orientasi ibadah ini hanya kepada Allah. Kedua,
tawakal, yaitu penanaman kembali sikap pasrah kepada Allah. Ketiga,
tasamuh, yakni setelah umat Islam naik haji atau umrah, sifat toleransi
kepada sesama akan bertambah. Keempat, tadabbur, kita harus merenung
apa yang ada di dalam diri kita. Kelima, taubat, kita harus bertaubat
dari seluruh kesalahan. Keenam, taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah.
Ketujuh, ta`awun. “Ta’awun artinya bekerjasama atau saling menolong
dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa dan permusuhan.
Sejarah Haji dan Umrah
Setiap umat muslim tentu harus mengetahui wacana tentang ibadah haji atau umrah dari pribadi agung yang
pertama kali mengajarkannya, yaitu Nabi Ibrahim a.s. (`alayhi s-salam,
semoga kedamaian bagi beliau), nenek moyang bangsa Arab dan Ibrani,
serta bapak dari tiga agama monoteis: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dengan
asumsi bahwa sepertiga penduduk bumi sekarang adalah Kristiani,
seperlimanya adalah Muslim, dan sepertigaratusnya adalah Yahudi, tokoh
yang mengajarkan ibadah haji tersebut ternyata dihormati oleh lebih dari
separoh penghuni planet ini, dengan sebutan yang bervariasi: Abrahem,
Abraham, Ibrahim, dan mempunyai julukan sangat mesra: Sahabat Tuhan
(Khalilu l-Lah; Khafer Elohim; Amigo Dei; Friend of God).
Dalam
Kitab Alquran, nama Nabi Ibrahim a.s. disebutkan 69 kali yang tersebar
dalam 25 Surat dan merupakan peringkat kedua terbanyak disebutkan
sesudah Nabi Musa a.s. Berdasarkan informasi Alquran, ditambah dengan
informasi dari Bereshith (Genesis), Kitab Taurat yang pertama, kita
dapat menelusuri riwayat hidup Nabi Ibrahim a.s. Beliau lahir dan
dibesarkan di negeri Ur, tanah Kaldea, daerah muara Sungai Efrat (Irak
sekarang) sekitar empat ribu tahun yang silam. Meskipun hidup di
lingkungan masyarakat Mesopotamia yang menyembah benda-benda langit,
Ibrahim sejak muda remaja telah memiliki sifat hanif, yaitu cenderung
kepada kebenaran adanya Satu Tuhan. Sebagaimana diterangkan dalam
Alquran Surat Al-An`am 74-83, Ibrahim menolak penyembahan bintang, bulan dan matahari, serta mendambakan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan
dalam bahasa Mesopotamia disebut El atau Il (nama negeri Babel atau
Babil berarti Pintu Tuhan). Anak keturunan Ibrahim kelak, yaitu bangsa
Ibrani dan bangsa Arab, memodifikasi nama ini dengan penambahan huruf Ha
(Dia), masing-masing menjadi Eloh dan Ilah. Nama yang terakhir ini
kemudian diberi kata sandang (artikel definit) Al-, menjadi Al-Ilah atau
Allah. Akan tetapi El dan Il sebagai nama Tuhan masih dijumpai dalam
bahasa Ibrani dan Arab pada nama-nama Gabriel (Jibril), Michael
(Mika'il), Yishma`el (Ismail), Yisra'el (Isra'il), dan sebagainya.
Perlu
diketahui bahwa masyarakat Mesopotamia memakai sistem bilangan dasar
enam. Merekalah yang mewariskan kepada kita pembagian lingkaran menjadi
360 derajat, pembagian satu hari menjadi 24 jam, satu jam menjadi 60
menit, dan satu menit menjadi 60 detik. Sistem ini menjadikan bilangan
tujuh sebagai sesuatu yang istimewa. Bilangan 60 habis dibagi 1, 2, 3,
4, 5 dan 6, tetapi tidak habis dibagi tujuh. Itulah sebabnya satu minggu
harus tujuh hari, dan sesuatu yang maksimal harus dinyatakan dalam
jumlah tujuh. Oleh karena Allah berkomunikasi melalui wahyu-Nya dalam
bahasa Nabi yang bersangkutan, maka manasik (tatacara) haji yang
disyari`atkan kepada Nabi Ibrahim a.s. banyak melibatkan bilangan tujuh,
seperti tujuh putaran thawaf, tujuh bolak-balik sa`i, dan tujuh
lontaran terhadap jumrah.
Sang
pemuda Ibrahim yang baru menikah dengan gadis pujaannya, Sarah,
mengikuti keluarganya pindah dari Ur, menelusuri Sungai Efrat ke daerah
hulu di utara, lalu menetap di Haran yang sekarang terletak di wilayah
Turki. Penduduk Haran merupakan penyembah berhala dan diperintah oleh
seorang raja yang zalim. Kitab Alquran tidak menerangkan nama raja ini,
tetapi sumber sejarah Ibrani atau kisah Isra'iliyat menyebutnya Raja
Nimrod, yang kemudian disalin menjadi Namrud atau Namruz dalam bahasa
Arab. Dalam Alquran Surat Al-Anbiya' 51-73
diterangkan bahwa Ibrahim mengobrak-abrik berhala-berhala sehingga sang
raja murka dan membakar Ibrahim hidup-hidup. Akan tetapi Allah
menyelamatkan Ibrahim dengan menjadikan api itu dingin. Kemudian datang
perintah Allah agar Ibrahim meninggalkan negerinya.
'Lekh leka!' (Pergilah engkau!), demikian perintah Allah yang tercantum dalam Kitab Bereshith (Genesis) 12 : 1, 'dari negerimu, keluargamu dan rumah bapakmu, ke tanah yang akan Kutunjukkan padamu'.
Kitab Alquran Surat Ash-Shaffat 99 merekam pernyataan Ibrahim : Inni
dzahibun ila rabbi, sa yahdin (Sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku,
kelak Dia menunjuki daku). Tanah yang dijanjikan Allah itu bernama
Kana'an, bahasa Aram yang berarti ungu, sebab penduduknya terkenal
memproduksi zat warna ungu (purple dyes). Dalam bahasa Yunani kata untuk
ungu adalah phonix, sehingga mereka menyebut daerah itu Phoenicia.
Bangsa Ibrani kelak menamainya Pelishtim, dan sejarawan Herodotus abad
kelima SM mempopulerkannya sebagai Palaistine (Palestina).
Perintah Allah kepada Ibrahim itu disertai tujuh janji, sebagaimana tercantum dalam Kitab Bereshith 12 : 2-3, yaitu: (1)
Aku akan menjadikan engkau bangsa yang besar; (2) Aku akan memberkati
engkau; (3) Aku akan membuat namamu masyhur; (4) Engkau akan menjadi
suatu berkat; (5) Aku akan memberkati mereka yang memberkati engkau; (6)
Aku akan mengutuk mereka yang mengutuk engkau; dan (7) Seluruh kaum di
muka bumi melalui engkau akan diberkati.
Kenyataan
menunjukkan bahwa dari tiga komunitas agama (Yahudi, Nasrani, Islam)
yang mengaku sebagai 'anak-anak Ibrahim', hanya umat Islam yang setiap
hari menyebut nama Ibrahim dengan penuh khidmat. Pada bagian akhir
shalat mereka, dengan khusyuk umat Islam membisikkan kama barakta `ala
ibrahim (sebagaimana Engkau telah menganugerahkan berkat kepada
Ibrahim).
Ibrahim
dalam usia yang makin lanjut belum juga memperoleh keturunan. Beliau
tiada henti-hentinya berdoa kepada Allah: Rabbi habli mina sh-shalihin
(Ya Tuhanku, karuniai daku anak yang saleh), sebagaimana tercantum dalam
Ash-Shaffat 100. Kitab Bereshith 16 : 3 mengungkapkan: ”Dan
Sarah istri Ibrahim mengambil Hajar orang Mesir pembantunya, setelah
Ibrahim menetap sepuluh tahun di tanah Kana'an, dan dia memberikannya
kepada Ibrahim suaminya sebagai istri”. Dalam hal ini
perlu ditegaskan bahwa Hajar adalah pembantu Sarah (naskah Ibraninya
shifhah = pembantu, maid), dan sama sekali bukanlah 'budak' atau 'hamba'
(amah dalam bahasa Ibrani). Juga perlu ditegaskan bahwa Hajar bukanlah
'gundik' Ibrahim, melainkan istri yang sah. Kata pada akhir ayat
Bereshith 16 : 3 yang digunakan untuk Hajar dalam naskah Ibrani berbunyi
ishah (istri, wife) yang juga digunakan pada awal ayat untuk Sarah.
Fa basysyarnahu bi ghulamin halim (Maka Kami gembirakan dia dengan seorang anak yang cerdas), demikian firman Allah dalam Ash-Shaffat 101.
Hajar melahirkan seorang putra, yang diberi nama oleh ayahnya Yishma`el
(dalam bahasa Ibrani) atau Ismail (dalam bahasa Arab), yang berarti
'Tuhan mendengar', yaitu mendengar doa Ibrahim untuk memperoleh
keturunan. Bereshith 16 : 16 menambahkan informasi 'Dan Ibrahim berusia 86 tahun ketika Hajar melahirkan Ismail baginya.'
Setelah
Ismail lahir, turunlah perintah Allah tentang kewajiban bersunat
(khitan). Dalam Bereshith 17 : 10 tertulis 'Inilah perjanjian-Ku yang
harus engkau pegang, antara Aku dengan engkau dan benihmu sesudah
engkau, yaitu setiap laki-laki di antaramu haruslah disunat.” Bagi yang
ingkar kepada kewajiban ini, Bereshith 17 : 14 menegaskan ”Dan
laki-laki yang tidak disunat kulit khatannya, maka orang itu harus
dikeluarkan dari kelompoknya. Dia telah mengingkari perjanjian-Ku.'
Sekali lagi kenyataan menunjukkan bahwa umat Islam paling konsisten
dalam melaksanakan kewajiban bersunat atau khitan ini. Jadi, mereka yang
tidak disunat sudah tentu sangat tidak pantas untuk disebut atau
mengaku sebagai 'anak-anak Ibrahim'.
Tentang
Ismail, Aku mendengarkanmu, demikian firman Allah kepada Ibrahim dalam
Bereshith 17 : 20. Dalam naskah Ibrani kalimatnya cuma dua kata:
uleyishma`el shema`tika, dan sangat menarik bahwa kedua kata ini
memiliki tiga huruf dasar yang sama yaitu shin, mem,`ayin. 'Aku akan
memberkati dia dan membuatnya berketurunan sangat banyak. Dua belas
pemimpin (melek) akan diperanakkannya, dan Aku akan menjadikannya bangsa
yang besar.'
Ternyata
Allah mempunyai Rencana Besar untuk Ibrahim dan Ismail. Allah
memerintahkan Ibrahim untuk membawa Hajar dan anak mereka yang masih
kecil meninggalkan Kana'an ke arah selatan, menuju sebuah lembah yang
bernama Baka atau Bakkah. Oleh karena mim dan ba sama-sama huruf
bilabial (bibir), nama Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah.
Dalam bahasa Arab dan Ibrani, kata baka mempunyai dua arti: 'berderai
air mata' dan 'pohon balsam'. Arti yang pertama berhubungan dengan
gersangnya daerah itu sehingga seolah-olah tidak memberikan harapan, dan
arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon balsam (genus
Commiphora) yang tumbuh di sana.
Apakah
keistimewaan lembah Bakkah itu? Allah menjelaskannya dalam Surat Alu
Imran 96: Inna awwala baitin wudhi`a li n-nasi la l-ladzi bi bakkata
mubarakan wa hudan li l-`alamin (Sesungguhnya Rumah Allah Pertama yang
didirikan untuk manusia benar-benar terletak di Bakkah yang diberkati
dan petunjuk bagi seluruh alam). Ternyata lembah Bakkah itu merupakan
lokasi Rumah Allah (Baitu l-Lah dalam bahasa Arab, Beth Elohim dalam
bahasa Ibrani) yang didirikan oleh generasi pertama umat manusia dari
zaman Nabi Adam a.s. Pada masa Nabi Ibrahim a.s. lembah itu sudah
ditelantarkan, tiada manusia yang menghuni, dan Rumah Allah yang pertama
itu hanya tinggal fondasinya saja. Ada cerita yang mengatakan bahwa
Rumah Allah itu hancur oleh banjir pada zaman Nabi Nuh a.s. Bagaimana
kejadian yang sebenarnya, hanya Allah yang tahu.
Kisah
Hajar dan Ismail dikumpulkan dan ditulis oleh sejarawan Muhammad ibn
Jarir ath-Thabari (wafat 310 Hijri atau 922 Masehi) dalam bukunya yang
termasyhur, "Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk" (Sejarah Para Rasul dan Para
Penguasa), Jilid 1, hh. 275-283: 'Ketika mendapat perintah dari Allah
untuk menuju Rumah-Nya, Ibrahim pergi bersama Hajar dan Ismail disertai
malaikat Jibril. Mereka sampai di Makkah yang cuma ditumbuhi pohon
akasia, mimosa, balsam dan semak berduri. Rumah Allah saat itu tinggal
dasarnya berupa lempung merah. Jibril berkata, Allah memerintahkan
engkau untuk meninggalkan mereka. Ibrahim membawa Hajar dan Ismail ke
Hijir (di samping Ka`bah sekarang) dan membuat tenda di sana. Lalu
Ibrahim berdoa: 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan keturunanku
di lembah yang tiada tumbuhan berbuah, di samping Rumah-Mu Yang Suci,
agar mereka tetap menegakkan salat. Maka jadikanlah hati manusia
berpaling kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan,
agar mereka bersyukur' (Surat Ibrahim 37).
Ketika Ibrahim akan pergi, Hajar bertanya, 'Apakah perintah Allah yang
membuatmu meninggalkan kami?' Ibrahim menjawab, 'Ya.' Maka Hajar
berkata, ”Jika demikian tentu Allah tidak meninggalkan kami untuk
binasa.' Maka Ibrahim kembali ke Kana'an, meninggalkan mereka berdua di
Rumah Allah.”
Masih
kutipan dari Thabari: 'Ismail menangis karena sangat kehausan. Hajar
memasang telinga untuk mendengar suara yang mungkin membantunya
memperoleh air. Dia mendengar suara di bukit Safa, lalu pergi ke sana
tetapi tidak menemukan apapun. Lalu dia mendengar suara di bukit Marwah.
Dia pergi ke sana, juga tidak menemukan apapun. Hajar kembali ke Safa,
lalu balik lagi ke Marwah, dengan tidak merasa letih supaya anaknya
dapat minum.'
Bereshith 21 : 17-19 melengkapi kisah ini: 'Dan
Allah mendengar suara anak itu, dan malaikat Allah memanggil dari
langit dan berkata kepadanya, 'Apakah yang engkau susahkan, Hajar?
Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat
dia berbaring. Bangunlah, angkatlah anak itu dan bimbinglah dia, sebab
Aku akan menjadikannya bangsa yang besar.' Dan Allah
membuka mata Hajar dan dia melihat sebuah mata air. Dia pergi mengisi
kirbat kulitnya dengan air, lalu memberi anak itu minum.
Kembali kepada uraian Thabari: 'Ketika
Hajar sampai di Marwah setelah tujuh kali bolak-balik, tiba-tiba dia
mendengar suara gemuruh dari lembah tempat dia meninggalkan Ismail. Dia
berlari menuju anaknya, dan mendapati mata air memancar dekat tempat dia
berbaring. Hajar mengisikan air ke kirbat kulitnya sambil berseru,
'Zummi, zummi'. Ada yang mengatakan bahwa itu bahasa Mesir yang berarti
'Berkumpul, berkumpul.' Mungkin juga itu hanya ucapan Hajar menirukan
bunyi air yang memancar. Hanya Allah yang Maha Tahu, tetapi dari ucapan
Hajar itulah asal nama telaga Zamzam.'
Adanya
sumber air berupa telaga Zamzam membuat tempat itu layak dihuni. Maka
datanglah rombongan suku Jurhum yang pemimpinnya bernama Mudad, memohon
izin kepada Hajar dan Ismail untuk menetap di sana.
Pada
waktu-waktu tertentu, secara rutin Ibrahim dari Kana'an datang
mengunjungi istri dan anak beliau di lembah Makkah yang lambat laun
tumbuh menjadi suatu pemukiman.
Ketika
Ismail berusia 13 tahun datanglah ujian dahsyat yang tiada tara. Allah
memerintahkan Ibrahim agar berqurban menyembelih putranya yang
satu-satunya itu! Sungguh suatu ujian yang sangat berat bagi seorang
ayah, namun karena itu perintah Allah maka Ibrahim menyanggupinya tanpa
keraguan. Ketika perintah Allah itu disampaikan Ibrahim kepada sang
anak, dan ketika Ismail ditanyai pendapatnya oleh sang ayah, maka Ismail
yang masih berusia remaja itu menjawab: Ya abati, if`al ma tu'mar. Sa
tajiduni insya'a l-Lahu mina sh-shabirin ('Wahai ayahanda, laksanakan
apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah ayah akan mendapatiku sebagai
anak yang sabar'), sebagaimana tercantum dalam Surat Ash-Shaffat 102.
Ibrahim
membawa Ismail ke suatu bukit di sebelah timur Makkah, tempat yang
sekarang bernama Mina. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk
membatalkan rencananya, tiga kali pula Ibrahim menolak godaan Iblis
dengan lontaran kerikil. Tindakan Ibrahim ini kelak diabadikan dalam
salah satu manasik (tatacara) haji, yaitu melontar tiga jumrah di Mina.
Setelah Ismail direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang
Ibrahim telah siap hendak menyentuh leher putranya, maka Allah berfirman
agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba. Firman Allah
dalam Ash-Shaffat 106-107: Inna hadza lahuwa l-bala'u l-mubin. Wa fadaynahu bi dzibhin `azhim ('Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar').
Ibrahim
tidak kehilangan putra, bahkan putranya bertambah satu lagi, sebab
setelah peristiwa ujian qurban itu Allah memberikan kabar gembira bahwa
istri pertamanya, Sarah, akan memberinya putra yang bernama Ishaq (dalam
bahasa Arab) atau Yitshaq (dalam bahasa Ibrani), sebagaimana
diterangkan dalam Ash-Shaffat 112: Wa basysyarnahu bi ishaq, nabiyyan mina sh-shalihin
('Dan Kami gembirakan dia dengan Ishaq, seorang nabi yang saleh').
Ishaq kelak menurunkan bangsa Ibrani, sedangkan Ismail kelak menurunkan
bangsa Arab, terutama suku Quraisy di Makkah.
Sekarang
marilah kita tinjau informasi Bereshith mengenai peristiwa qurban
tersebut. Dalam Bereshith 22 : 2 perintah Allah kepada Ibrahim berbunyi:
'Ambillah anakmu yang satu-satunya, yang engkau kasihi,
Ishaq(?), dan pergilah ke tanah Moriah dan kurbankan dia sebagai kurban
bakaran pada salah satu gunung yang akan Aku firmankan kepadamu.'
Ketika
naskah Taurat dibakukan, para ulama Yahudi mengganti nama Yishma`el
(Ismail) pada Bereshith 22 dengan Yitshaq (Ishaq). Tetapi akal bulus
Yahudi ini kelihatan sekali belangnya. Bereshith 22 : 2 jelas
menyebutkan 'anakmu yang satu-satunya'. Naskah Ibraninya berbunyi yahid,
artinya 'satu-satunya'. Hal ini berarti bahwa ujian Allah kepada
Ibrahim terjadi sebelum Ishaq lahir, ketika Ibrahim baru mempunyai
seorang putra, yaitu Ismail. Kitab Taurat sendiri jelas menyebutkan
bahwa Ismail lahir ketika Ibrahim berusia 86 tahun (Bereshith 16 : 16),
sedangkan Ishaq lahir ketika Ibrahim berusia 100 tahun (Bereshith 21 :
5).
Dalam
Al-Baqarah 75 dinyatakan bahwa kaum Yahudi 'mendengar firman Allah lalu
mengubahnya setelah memahaminya padahal mereka mengetahui' (yasma`una
kalama l-Lahi tsumma yuharrifunahu min ba`di ma aqaluhu wa hum
ya`lamun). Skandal pengubahan nama Ismail menjadi Ishaq dalam peristiwa
qurban itu disebabkan umat Yahudi tidak rela keturunan Ismail berperan
dalam pelaksanaan janji Allah pada Bereshith 22 : 18 'Dan semua bangsa di muka bumi akan diberkati melalui benihmu, karena engkau telah mendengarkan firman-Ku'.
Janji Allah tersebut dipertegas dalam Al-Baqarah 124: 'Dan
ketika Tuhannya menguji Ibrahim dengan perintah-perintah tertentu, maka
Ibrahim memenuhi semuanya. Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku akan
menjadikan engkau imam (pemimpin) bagi manusia.' Ibrahim bertanya, 'Juga
keturunanku?' Allah berfirman, 'Perjanjian-Ku tidak mencakup mereka
yang zalim'.
KEMUDIAN
turunlah perintah Allah kepada Ibrahim dan Ismail untuk membangun atau
merenovasi Rumah Allah (Baitullah) dengan meninggikan fondasi yang
memang sudah ada. Al-Baqarah 127 memberikan informasi: yarfa`u ibrahimu
l-qawa`ida mina l-baiti wa Ismail (Ibrahim meningkatkan fondasi Al-Bait
bersama Ismail). Oleh karena bangunan Rumah Allah yang didirikan Ibrahim
dan Ismail itu berbentuk kubus (ka'bah dalam bahasa Arab),
lama-kelamaan Rumah Allah yang berukuran 12 x 10,5 x 15 meter itu
dikenal dengan sebutan Kakbah.
Perlu
diketahui bahwa Nabi Ibrahim a.s. memiliki kebiasaan membuat semacam
"tempat berdiri" untuk sembahyang (salat) menghadap Allah, yang disebut
magom (bahasa Ibrani) atau maqam (bahasa Arab). Di Kana'an beliau sempat
membuat sebuah magom, sebagaimana tercantum dalam Bereshith 19 : 27,
tetapi magom tersebut rupanya tidak dilestarikan. Di depan Kakbah beliau
juga membuat sebuah maqam.
Oleh
karena itu, Allah mengabadikan maqam (tempat berdiri) Nabi Ibrahim di
depan Kakbah itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Baitullah.
Wa ttakhidzu min maqami ibrahima mushalla (Dan ambillah Maqam Ibrahim
menjadi tempat sembahyang), demikian tercantum dalam Al-Baqarah 125.
Sebagai catatan kecil, entah mengapa istilah maqam (makam) digunakan
dalam bahasa Indonesia untuk menyebut "kuburan" sehingga ada jemaah haji
yang menyangka Maqam Ibrahim sebagai "kuburan Nabi Ibrahim", padahal
kuburan beliau terletak di Hebron atau Al-Khalil, daerah Tepi Barat,
Palestina.
Setelah
Kakbah rampung dibangun, barulah turun perintah Allah kepada Nabi
Ibrahim a.s. agar menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah
mengunjungi Baitullah disebut hajj dalam bahasa Arab serta hagg dalam
bahasa Ibrani (huruf Arab ha dan jim identik dengan huruf Ibrani heth
dan gimel) yang berarti 'Perayaan Tuhan, Festival of God'. Surat Al-Hajj
27 merekam firman Allah kepada Nabi Ibrahim a.s.: Wa adzdzin fi n-nasi
bi l-hajj. Ya'tuka rijalan wa `ala kulli dhamir, ya'tina min kulli
fajjin `amiq (Dan panggillah manusia untuk berhaji. Mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan segala jenis kendaraan, datang
dari segenap penjuru yang jauh).
Wa
arina manasikana (Dan tunjukkanlah kepada kami tatacara haji bagi
kami), demikian permohonan Ibrahim kepada Allah yang tercantum dalam
Al-Baqarah 128. Oleh karena itu, Allah mengajarkan tatacara (manasik)
ibadah haji kepada Nabi Ibrahim a.s. Manasik haji yang pertama-tama
adalah melakukan ihram, artinya 'mengharamkan' atau 'mensucikan', yaitu
mengenakan pakaian ihram serta tidak melakukan larangan-larangan ihram.
Begitu jemaah haji menginjakkan kaki di Tanah Haram (Tanah Suci), mereka
harus sudah menanggalkan pakaian mereka sehari-hari dan menggantinya
dengan kain ihram. Ini suatu perlambang atau simbol bahwa di Rumah Allah
manusia harus bersedia membebaskan diri dari segala atribut kekayaan,
jabatan, dan status sosial yang disandangkan orang kepadanya. Di hadapan
Allah, semua manusia tanpa kecuali berstatus sama, yaitu Hamba Allah.
Kemudian
para jemaah haji harus melakukan wuquf (berdiam, jambore) di Padang
Arafah, sekira 25 km di sebelah timur Makkah. Inilah upacara gladi resik
berkumpulnya umat manusia di Padang Mahsyar pada Hari Akhirat nanti,
sekaligus para jemaah haji melakukan "reuni" di tempat pertemuan Adam
dan Hawa setelah kedua nenek moyang umat manusia ini terusir dari Taman
Eden (Jannatu `Adn). Itulah sebabnya tempat wuquf itu dinamai Padang
Arafah, artinya 'Padang Pengenalan' agar manusia mengenali kembali
persaudaraan sebagai sesama anak cucu Adam dan Hawa. Ketika melakukan
wuquf, jemaah haji menyadari bahwa umat manusia yang bermacam-macam
warna kulit, bahasa, dan adat-istiadat ternyata adalah saudara sedarah
dan seketurunan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hujurat 13: "Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa di
antara kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengawasi".
Selanjutnya,
para jemaah haji harus melakukan thawaf, yaitu mengelilingi Kakbah
sebanyak tujuh putaran. Inilah tarian kosmos sebab Allah menakdirkan
bahwa alam semesta hanya eksis karena gerakan thawaf. Jemaah haji meniru
gerakan elektron-elektron yang berthawaf mengelilingi inti atom serta
gerakan planet-planet yang berthawaf mengelilingi matahari. Hari Kiamat
akan terjadi ketika thawaf alam semesta berhenti. Seluruh materi di
jagat raya, dari partikel-partikel penyusun atom sampai benda-benda
langit senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Ilahi yang mengatur
mereka. Dengan melakukan thawaf diharapkan manusia sebagai bagian alam
semesta menyadari bahwa mereka pun seharusnya tunduk-patuh kepada
aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya seluruh isi langit dan
bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Ali Imran 83: "Apalagi
yang mereka cari selain agama Allah, padahal kepada-Nya telah Islam
(tunduk-patuh) segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau
terpaksa, dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan".
Sesudah
melakukan thawaf, jemaah haji harus melakukan sa'i, meniru gerakan
Hajar bolak-balik tujuh kali antara bukit Safa dan bukit Marwah. Kata
sa'i berarti usaha. Ternyata Hajar baru memperoleh anugerah air Zamzam
dari Allah setelah dia melakukan sa'i (usaha) yang maksimal. Dengan
melakukan sa'i diharapkan manusia menyadari bahwa kesuksesan dan
kejayaan hanya dapat diraih melalui usaha atau perjuangan maksimal,
bukan dengan sekadar berdoa sambil berpangku tangan. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam An-Najm 39-40: "Bahwa
manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali apa yang diusahakannya (ma
sa`a), dan bahwa usahanya (sa`yahu) akan segera terlihat nyata".
Sekarang
kita teruskan perjalanan sejarah kita. Ismail menikah dengan Ra`la
binti Mudad, putri pemimpin Jurhum yang diceritakan di muka. Pernikahan
ini membuahkan dua belas putra yang menurunkan bangsa Arab (Bani
Ismail). Nama-nama mereka tidak disebutkan dalam Alquran, tetapi
tercantum lengkap dalam Bereshith 25 : 13-15. Yang banyak disebut-sebut
adalah dua orang putra tertua, Nabit (Nebayot) dan Qaydhar (Kedar),
sebab mereka berdua kelak menurunkan suku Quraisy penduduk Makkah.
Sementara itu di Palestina, Ishaq menikah dengan Ribqah (Rebecca) dan
berputra Ya`qub. Ya`qub yang bergelar Yisra'el atau Isra'il mempunyai
dua belas putra yang menurunkan bangsa Ibrani (Bani Isra'il).
Pada
mulanya Bani Isra'il pun ikut serta dengan saudara-saudara mereka Bani
Ismail menunaikan ibadah haji ke Makkah sebagai sesama keturunan Nabi
Ibrahim. Akan tetapi ketika bangsa Arab atau Bani Ismail tersesat kepada
penyembahan berhala, Bani Isra'il tidak lagi mengunjungi Kakbah (Ibn
Ishaq, Sirah an-Nabawiyyah, h.15). Namun, dalam Kitab Zabur dari Nabi
Daud a.s. tersurat kerinduan kepada Baitullah: "Sungguh
diberkati mereka yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berteguh hati
menunaikan haji. Dan ketika tiba di Lembah Baka, mereka membuatnya
menjadi tempat yang bermata air" (Zabur 84 : 5-6).
Hanya
Allah yang tahu berapa lama Bani Ismail tetap memegang teguh ajaran
Tauhid dari Nabi Ibrahim a.s. Setelah beberapa abad, mereka tergelincir
mempersekutukan Allah dengan berhala-berhala. Ratusan berhala dipasang
di sekeliling Kakbah dengan berbagai nama-nama aneh: Lata, Uzza, Manat,
Hubal, Asaf, Na'ilah, dan entah apa lagi. Manasik atau tatacara haji
juga dicampurbaurkan dengan upacara pemujaan berhala. Keadaan seperti
ini berlangsung berabad-abad. Namun, akhirnya tibalah saatnya doa Nabi
Ibrahim a.s. dikabulkan, yaitu doa yang beliau sampaikan kepada Allah
ketika mendirikan Kakbah: "Ya Tuhan kami, bangkitkanlah
untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah serta
mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Al-Baqarah 129).
Sebagai
jawaban atas doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut, Allah membangkitkan
seorang manusia dari kalangan suku Quraisy yang bernama Muhammad saw.
(shalla l-Lahu `alayhi wa sallam, kehormatan Allah bagi beliau beserta
kedamaian) sebagai Nabi dan Rasul Terakhir yang meneruskan dan
menyempurnakan ajaran seluruh Nabi dan Rasul terdahulu. Beliau lahir
tahun 571, menerima wahyu pertama tahun 610, hijrah ke Madinah tahun
622, dan wafat tahun 632. Usia beliau 61,5 tahun menurut tarikh
syamsiyah (kalender matahari) atau 63 tahun menurut tarikh qamariyah
(kalender bulan). Kita hanya akan membahas perjalanan hidup Nabi
Muhammad saw. yang berkenaan dengan upacara haji.
Pada
tahun 625 (4 Hijri), Allah menetapkan bahwa syariat haji dari Nabi
Ibrahim a.s. harus dilaksanakan oleh umat Islam, dengan turunnya ayat:
"Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah,
bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang
ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari
seluruh alam" (Ali Imran 97). Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji
diwajibkan "bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana" (man
istatha`a ilayhi sabila), yaitu mampu dalam hal fisik (sehat), finansial
(mempunyai biaya), dan sekuriti (aman tiada gangguan). Itulah sebabnya
mengapa Nabi Muhammad saw. baru menunaikan ibadah haji tahun 10 Hijri
(632 M), tiga bulan sebelum beliau wafat dan enam tahun sesudah ayat di
atas diwahyukan. Ketika perintah haji itu diwahyukan Allah, Makkah
sedang dikuasai oleh kaum musyrikin yang memusuhi Muslimin di Madinah.
Beberapa bulan sebelum perintah haji itu turun berlangsunglah Perang
Uhud (3 Hijri), dan tahun sebelumnya (2 Hijri) terjadi Perang Badar,
lalu pada tahun 5 Hijri terjadi Perang Khandaq. Kondisi seperti itu
sudah tentu tidak memungkinkan bagi Nabi Muhammad saw. beserta para
sahabat untuk menunaikan ibadah haji.
Akan
tetapi Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat yang mampu, terutama
kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang
Makkah, untuk menunaikan ibadah haji yang sesuai dengan manasik Nabi
Ibrahim dan tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan
penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, orang-orang Anshar ini
melapor kepada Rasulullah bahwa mereka mengerjakan sa'i dengan keraguan
sebab di tengah mas`a (jalur sa`i) antara Safa dan Marwah terdapat dua
berhala besar Asaf dan Na'ilah. Oleh karena itu, turunlah wahyu Allah,
yaitu Al-Baqarah 158: Inna sh-shafa wa l-marwata min sya`a'iri l-Lah. Fa
man hajja l-baita aw i`tamara fa la junaha `alayhi an yaththawwafa bi
hima. Wa man tathawwa`a khairan fa inna l-Laha syakirun `alim
('Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari syi`ar-syi`ar Allah. Maka
barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah
baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah
kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha
Mengetahui'). Ayat ini kelak sering dibaca oleh para jemaah haji ketika
melakukan sa`i.
Pada
bulan April 628 (Dzulqa`dah 6 Hijri) Rasulullah saw. bermimpi
menunaikan umrah (kunjungan) ke Makkah dan mengajak para sahabat untuk
mewujudkan mimpi tersebut. Rasulullah pun dengan disertai 1.500 sahabat
berangkat menuju Makkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa
hewan-hewan qurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk
menghalang-halangi sehingga rombongan dari Madinah tertahan di
Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah.
Kaum
Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah.
Suhail mengusulkan, antara lain, kesepakatan genjatan senjata dan kaum
Muslimin harus menunda umrah dengan kembali ke Madinah, tetapi tahun
depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari
di Makkah. Rasulullah menyetujui perjanjian ini meskipun para sahabat
banyak yang kecewa, namun tidak ada yang berani menentang keputusan
Junjungan mereka.
Sepintas
lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara
politis sangat menguntungkan. "Perjanjian Hudaibiyah" merupakan salah
satu tonggak penting dalam sejarah Islam sebab untuk pertama kalinya
kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Al-Fath
27: "Sungguh Allah akan memenuhi mimpi rasul-Nya dengan
sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya
Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut
(merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang
dekat".
Sesuai
dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 atau
Dzulqa`dah 7 Hijri) Rasulullah saw. beserta para sahabat untuk pertama
kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Nabi yang
berjumlah sekira 2.000 orang memasuki pelataran Kakbah untuk melakukan
tawaf, orang-orang Makkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan
berteriak-teriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak
kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah
bersabda kepada jemaahnya, "Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa
kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan
thawaf dengan berlari!"
Sesudah
mencium Hajar Aswad, Rasulullah saw. dan para sahabat memulai tawaf
dengan berlari-lari mengelilingi Kakbah sehingga para pengejek akhirnya
bubar. Pada putaran keempat setelah orang-orang usil di atas bukit
Qubais pergi, Rasulullah mengajak para sahabat berhenti berlari dan
berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunah tawaf di
kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idhthiba') serta berlari-lari
kecil pada tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang pertama.
Selesai
tujuh putaran, Rasulullah saw. salat dua rakaat di Maqam Ibrahim,
kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah me-lakukan sa`i antara
Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul ('menghalalkan
kembali') atau membebaskan diri dari larangan-larangan ihram, dengan
menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Ketika masuk waktu duhur,
Rasulullah saw. menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Kakbah untuk
mengumandangkan azan.
Suara
azan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang-orang Makkah
berkumpul ke arah "suara aneh" yang baru pertama kali mereka dengar.
Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang
sedang salat berjamaah. Hari itu, 17 Dzulqa`dah 7 Hijri (17 Maret 629),
untuk pertama kalinya azan berkumandang di Makkah dan Nabi Muhammad
s.a.w. menjadi imam salat di depan Kakbah!
SESUAI
dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. dan para sahabat
hanya tiga hari berada di Makkah, kemudian kembali ke Madinah. Akan
tetapi, kegiatan Muslimin di Makkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi
orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn
Walid, Amru ibn Ash, dan Utsman ibn Thalhah, menyusul ke Madinah untuk
mengucapkan Kalimat Syahadat. Di kemudian hari, pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), Khalid ibn Walid memimpin pasukan
Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru ibn Ash membebaskan
Mesir dari kekuasaan Romawi. Adapun Utsman ibn Thalhah dan keturunannya
kelak diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Kakbah. Sampai
hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Kakbah silih berganti
hingga Dinasti Saudi sekarang, kunci Kakbah tetap dipegang oleh
keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa
bulan sesudah Rasulullah saw. berumrah, kaum Quraisy melanggar
perjanjian genjatan senjata sehingga pada 20 Ramadan 8 Hijriah (11
Januari 630) Rasulullah saw. beserta sepuluh ribu pasukan menaklukkan
Makkah tanpa pertumpahan darah. Bahkan, Rasulullah saw. memberikan
amnesti umum kepada warga Makkah yang dahulu memusuhi Muslimin. La
tatsriba `alaykumu l-yaum. Yaghfiru l-Lahu lakum wa huwa arhamu
r-rahimin (Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni
kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang), demikian
sabda Rasulullah saw. mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s. yang tercantum
dalam Surat Yusuf 92. Akibatnya, seluruh orang Quraisy masuk Islam.
Turunlah Surat An-Nasr: "Tatkala datang pertolongan Allah dan
kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah
berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu dan memohon ampunlah
pada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat". Setelah menerima ayat
ini, Rasulullah pada ruku dan sujud dalam salat mengucapkan Subhanaka
llahumma rabbana wa bi hamdika, allahumma ghfirli (Maha Suci Engkau, Ya
Allah, dan pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah daku).
Dengan
jatuhnya kota Makkah ke tangan umat Islam, Rasulullah saw. segera
memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Kakbah serta
membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan
mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8
Hijriah itu Rasulullah saw. melakukan umrah dua kali, yaitu ketika
menaklukkan Makkah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain.
Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya berarti Rasulullah saw. sempat
melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun
10 Hijriah.
Pada
bulan Zulhijah 9 Hijriah (Maret 631), Rasulullah saw. mengutus sahabat
Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak
ikut lantaran kesibukan beliau dalam menghadapi Perang Tabuk melawan
pasukan Romawi. Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan
Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah 28 yang baru
diterima Nabi bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati
Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah haji karena sesungguhnya mereka
bukanlah penganut ajaran Nabi Ibrahim a.s.
Pada
tahun 10 Hijriah (632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di
bawah kekuasaan Nabi Muhammad saw. yang berpusat di Madinah, dan seluruh
penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawwal Rasulullah
saw. mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun
itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru
sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah dan menyaksikan setiap
langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji.
Rasulullah
saw. berangkat dari Madinah sesudah salat Jumat tanggal 25 zulkaidah
(21 Februari) mengendarai unta beliau yang bernama Al-Qashwa', dengan
diikuti sekira 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta dan juga
putri beliau yang saat itu masih hidup, Fatimah. Sesampai di
Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, Rasul dan
rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri
Abu Bakar Shiddiq, Asma', melahirkan putra yang diberi nama Muhammad
dan Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah. Akan tetapi,
Rasulullah mengatakan bahwa Asma' cukup mandi bersuci, memakai pembalut
yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abi
Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada
masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661).
Keesokan
harinya, Sabtu 26 zulkaidah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk
berihram, Rasulullah saw. menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh
jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (Inilah saya, Ya Allah,
untuk berhaji). Tidak ada seorang pun yang berniat umrah sebab menurut
tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji
(Tamattu`, Ifrad, Qiran) yang kita kenal sekarang baru diterapkan
Rasulullah di Makkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Makkah
dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada hari Sabtu 3 Zulhijah (29
Februari), Rasul dan rombongan tiba di Sarif, 15 km di utara Makkah,
kemudian beristirahat. Aisyah, istri Nabi, kedatangan masa haidnya
sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji.
Rasulullah saw. menghiburnya, "Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah
untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua
manasik haji, kecuali thawaf sampai engkau suci."
Pada
Ahad 4 Zulhijah (1 Maret) pagi, Rasulullah dan rombongan memasuki kota
Makkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari
berbagai penjuru, dan diperkirakan total jemaah haji mencapai lebih dari
100.000 orang. Rasulullah memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu
Syaibah yang terletak di samping telaga Zamzam di belakang Maqam
Ibrahim. Gerbang Banu Syaibah ini kelak populer dengan nama Babu s-Salam
('Pintu Kedamaian'). Perlu dijelaskan bahwa yang disebut Masjid
al-Haram waktu itu adalah pelataran Kakbah tempat salat dan tawaf
(secara harfiah, masjid artinya tempat sujud), sedangkan bangunan masjid
baru dirintis pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) dan
mengalami perluasan dari zaman ke zaman sehingga akhirnya megah seperti
sekarang.
Juga
perlu dijelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan masuk
masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Babu s-Salam. Beliau masuk
pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki
Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram
diperluas sehingga tempat sa`i termasuk Safa dan Marwah menjadi bagian
masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di
antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Babu s-Salam.
Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu
Babu s-Salam "made in Saudi" ini dengan anggapan melaksanakan Sunah
Nabi!
Pada
awal setiap putaran tawaf, jemaah haji disunahkan untuk memberikan
penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di pojok tenggara Kakbah.
Rasulullah saw. memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah
pertama kali tahun 7 Hijriah, beliau mengecup Hajar Aswad. Ketika
penaklukan Makkah, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari
atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau
usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijriah, beliau
hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Cara yang
terakhir ini sangat praktis dan mungkin paling afdal. Akan tetapi,
kenyataannya banyak jemaah haji sekarang yang bersikut-sikutan untuk
mengecup Hajar Aswad. Hanya karena penasaran, dia rela melakukan yang
haram (menyakiti jemaah yang lain) untuk mengejar yang sunah!
Rasulullah
saw. melakukan tawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri
beliau, bertawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati
Rukun Yamani Rasulullah cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun
Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling populer: Rabbana
atina fi d-dunya hasanah wa fi l-akhirati hasanah wa qina `adzaba n-nar
(Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka). Setelah selesai tujuh
putaran, beliau
beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.
beliau salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.
Sesudah itu Rasulullah saw. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Kakbah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah saw. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.
Setelah
selesai sa`i, Rasulullah saw. di Marwah menginstruksikan sesuatu yang
mengejutkan para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau
memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban)
agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya
dilakukan di luar musim haji. Dengan mengubah niat menjadi umrah,
sebagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat ber-tahallul
(bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8
Zulhijah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari
Nahar (10 Zulhijah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Zulhijah) mereka harus
membeli hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai
Haji Tamattu`, artinya 'bersenang-senang' sebab masa berihram hanya
beberapa hari saja.
Pada
mulanya para sahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi karena
manasik seperti itu (umrah di musim haji) belum pernah ada, apalagi Nabi
sendiri ternyata tidak ber-tahallul. Melihat keraguan para sahabat,
Rasulullah saw. bersabda, "Seandainya aku tidak membawa
hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku telah
menghadapi urusanku (membawa hadyu) dan tidak dapat mundur lagi sehingga
aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyu-ku." Ada juga sahabat yang penasaran bertanya, "Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?" "Tahallul untuk semuanya!" jawab Nabi.
Kemudian Rasulullah saw. menegaskan, "Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya."
Artinya, umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari ibadah haji! Mendengar penegasan Rasulullah,
para sahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu ber-tahallul
secara massal. Hanya Rasulullah saw. dan sebagian kecil sahabat yang
terus berihram (tidak ber-tahallul) sebab mereka membawa hadyu.
Sejak
saat itu mulailah dikenal tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu`
atau "bersenang-senang" (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak
membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau "mandiri" (haji dulu, baru umrah)
bagi penduduk Makkah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau
"gabungan" (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk
Makkah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang
dikerjakan Rasulullah saw. dalam ibadah haji beliau. Hal ini disimpulkan
dari fakta bahwa beliau membawa hadyu dan sesudah mengerjakan haji
beliau tidak lagi melakukan umrah secara terpisah sampai beliau kembali
ke Madinah tanggal 14 Zulhijah.
Sebenarnya
cara Haji Tamattu` bukanlah inovasi Rasulullah saw., melainkan memang
diperintahkan oleh Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya, melalui wahyu
yang turun ketika Rasulullah dan rombongan tertahan di Hudaibiyah empat
tahun sebelumnya (6 Hijriah), tetapi baru pada ibadah haji tahun 10
Hijriah Rasulullah berkesempatan menerapkan pelaksanaannya. Ayat
perintah tamattu` itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi
l-`umrati ila l-hajj (bersenang-senang dengan umrah ke haji) bagi mereka
yang bukan penduduk Makkah, li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi
l-haram (bagi mereka yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid
al-Haram).
Ketika
Rasulullah dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah, semuanya berniat
haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar
tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri
Rasulullah, di kemudian hari yang tercatat dalam hadis-hadis
(berita-berita tentang Sunah Nabi), "Kami keluar bersama
Nabi saw. hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan tawaf
dan sa`i ('kami' di sini adalah jemaah haji sebab Aisyah sedang haid),
barulah Rasulullah memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk
ber-tahallul." Keterangan Jabir ibn Abdillah, sahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah, lebih tegas lagi, "Kami
para sahabat Rasulullah saw. bertujuan haji yang murni (khalishan),
tidak mencampurkannya dengan umrah sebab kami tidak mengenal umrah!
(lasna na`rifu l-`umrah)." Maksud Jabir sudah tentu adalah
tidak mengenal "umrah di musim haji" sebab ketika di Dzulhulaifah
"sistem lama" (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh
Rasulullah saw.
Rupanya
Nabi saw. sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang
tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196 agar umat
tidak terkejut dengan "sistem baru" (haji harus disertai umrah). Ketika
Rasulullah dan rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Zulhijah
sebelum masuk Makkah, beliau mulai melakukan "sosialisasi" sistem baru
dengan mengumumkan kepada jemaah haji, "Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah."
Di sini Rasulullah hanya mengimbau dengan kalimat "siapa mau" (man
sya'a). Esok harinya, tanggal 4 Zulhijah 10 Hijriah (1 Maret 632) ketika
semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Makkah,
serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan tawaf dan sa`i,
barulah Rasulullah memerintahkan cara Haji Tamattu` bagi yang tidak
membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal
ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para sahabat,
sampai-sampai Rasulullah sebagai manusia normal sedikit emosi melihat
para sahabat pada awalnya enggan "meralat" niat haji menjadi umrah.
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji Indonesia yang sudah
tentu bukan pribumi Makkah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari
rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah
repotnya kondisi di pesawat udara sehingga besar kemungkinan tidak
diperkenankan oleh pihak Garuda!), tidak ada pilihan lain kecuali
melaksanakan perintah Rasulullah saw. untuk mengambil cara Haji
Tamattu`. Hal ini berlaku baik bagi jemaah Gelombang Pertama (yang ke
Madinah dahulu) maupun bagi jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke
Makkah).
DARI
tanggal 5 sampai 7 Zulhijah (2-4 Maret), Rasulullah saw. melakukan
kegiatan-kegiatan: memimpin salat di Masjid al-Haram, melakukan tawaf
sunat, dan salat sunat di Hijir Ismail. Meskipun beliau dalam keadaan
berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir
beliau di Suq al-Layl dan berziarah ke kuburan istri yang paling beliau
cintai, Khadijah al-Kubra, yang terletak di Ma'la. Beliau juga
menghapuskan kebiasaan aneh pada masa Jahiliyah: orang yang berihram
tidak boleh masuk rumah dari pintu, tetapi harus membuat lubang di
belakang rumah atau masuk lewat atap! Tradisi yang entah dari mana
asalnya ini dilarang oleh Nabi berdasarkan perintah Allah dalam
Al-Baqarah 189.
Pada
Kamis 8 Zulhijah (5 Maret), Rasulullah saw. memerintahkan umat beliau
yang memakai cara Tamattu` kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi
larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai
cara Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam
keadaan berihram sebab sesudah tawaf dan sa`i mereka tidak bertahallul.
Manasik haji yang beliau terapkan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina sangat
perlu kita cermati sebab manasik ini merupakan "sistem baru" yang
berbeda dengan "sistem lama" (cara Jahiliyah), berdasarkan aturan Ilahi
dalam Al-Baqarah 196-203 yang diwahyukan tahun 6 Hijriah dan baru sempat
diterapkan pada ibadah haji Rasulullah saw. tahun 10 Hijriah.
Pada
tanggal 8 Zulhijah pagi, Rasulullah saw. beserta jemaah haji pergi
menuju Mina untuk mempersiapkan air sebab mulai tanggal 10 Zulhijah
sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa
hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Zulhijah disebut Hari Tarwiyah (tarwiyah
artinya 'mempersiapkan air'). Di zaman modern sekarang, meskipun air di
Mina sudah berlimpah sehingga para jemaah tidak perlu tarwiyah atau
mempersiapkan air, sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke
Mina tanggal 8 Zulhijah merupakan salah satu sunnah haji. Paling tidak,
hal itu perlu dilakukan untuk "napak tilas" perjalanan Nabi.
Namun,
perlu dipertimbangkan bahwa sekarang pemerintah Arab Saudi
terus-menerus membongkar rumah-rumah di Mina agar kapasitas Mina tetap
memadai dalam menampung jemaah haji yang jumlahnya dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Akibatnya, berlaku hukum ekonomi: ongkos sewa rumah
di Mina semakin mahal sehingga jemaah haji yang ingin singgah di Mina
tanggal 8 Zulhijah harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar.
Pada
hari Jumat, 9 Zulhijah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah
saw. dan seluruh jemaah haji berangkat menuju Arafah. Ketika melewati
Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah berhenti sebab selama
ini kaum Quraisy selalu berwukuf di Masy`ar al-Haram (Muzdalifah),
sedangkan yang berwukuf di Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy.
Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan agar seluruh jemaah haji
tanpa kecuali kembali kepada syariat Ibrahim untuk berwukuf di Arafah,
sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 199: Afidhu min haitsu
afadha n-nas (Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia).
Sebelum
masuk Arafah, Rasulullah saw. singgah di Namirah dan ketika masuk waktu
zuhur (matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang
Arafah untuk berkhotbah sebagai tanda dimulainya acara wukuf. Rasulullah
menghentikan unta beliau, Al-Qashwa', di suatu tempat yang ketinggian.
Di samping beliau berdiri Rabi`ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras
dan lantang. Ia ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas
terdengar oleh puluhan ribu jemaah yang hadir. Sesudah Rasulullah
mengucapkan tahmid dan takbir, memuji dan membesarkan nama Allah, beliau
memberikan khotbah yang isinya antara lain sebagai berikut:
"Wahai
manusia (Ayyuha n-nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan
kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu
dengan kamu di tempat wukuf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah
telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai
kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini.
Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan Dia pasti akan
menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.
Wahai
manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang
itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba
dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat
zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak
boleh ada riba lagi, dan riba yang pertama kuhapuskan adalah riba dari
Abbas ibn Abdil-Muttalib seluruhnya. Semua pertumpahan darah di masa
jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang
pertama kuhapuskan adalah darah Rabi`ah ibn Harits ibn Abdil-Muttalib
yang dibunuh oleh Hudzail.
Wahai
manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk terus disembah-sembah
di negerimu ini. Akan tetapi, dia akan puas dengan ditaati dalam
hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu
bahwa itu salah, tetapi tetap kamu perbuat. Maka, waspadalah terhadap
setan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas
istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak terhadapmu. Bertakwalah kamu
kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah
mengambil mereka dengan amanat Allah.
Wahai
manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang
jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat
selama-lamanya, yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan
Sunah Nabi-Nya. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, dan
tidaklah halal seseorang mengambil milik saudaranya kecuali dia
memberikan dengan rela. Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah
kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari
tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah yang paling takwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang
bukan Arab melainkan lantaran takwa."
Di akhir khotbah beliau, Rasulullah saw. bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir, "Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?" Jemaah haji serempak menjawab, "Benar, telah engkau sampaikan." Maka Rasulullah mengacungkan tangan beliau ke langit sambil berseru, "Wahai Allah, saksikanlah! Wahai Allah, saksikanlah!" Kemudian Rasulullah menutup khotbah beliau dengan bersabda, "Maka
hendaklah yang telah menyaksikan daripadamu menyampaikan kepada yang
tidak hadir. Semoga siapa yang menyampaikan akan lebih dalam
memperhatikannya daripada yang sekadar mendengarkan. Mudah-mudahan
berlimpahlah rahmat dan berkat Allah kepada kamu sekalian."
Selesai
berkhotbah, Rasulullah saw. turun dari unta, lalu memimpin salat zuhur
dan asar secara jama` dan qasar. Kemudian beliau menuju Sakhrat, batu
karang di kaki bukit Jabal Rahmah. Di sini Rasulullah saw. menerima
wahyu Al-Ma'idah 3: Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu `alaykum
ni`mati wa radhitu lakumu l-islama dina (Hari ini Aku sempurnakan bagimu
agamamu dan Aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku dan Aku relakan bagimu
Islam sebagai agamamu).
Ketika
Rasulullah saw. menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para
sahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibn Khattab
bertanya, "Apa yang kau tangiskan, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa agama kita telah sempurna?" Abu Bakar menjawab, "Tidakkah
terpikir olehmu, wahai anak Khattab, hal itu merupakan isyarat bahwa
Rasulullah mungkin cuma sebentar lagi bersama-sama dengan kita."
Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wukuf. "Haji itu di Arafah,"
sabda beliau. Sambil menghadap kiblat, Rasulullah dan para sahabat
memuji dan mengagungkan Allah, berzikir, berdoa, memohon ampun, membaca
ayat-ayat Quran, dan memperbanyak talbiyah.
Setelah
matahari terbenam, Rasulullah saw. mengajak para jemaah haji untuk
berangkat menuju Muzdalifah (Masy`ar al-Haram), sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Baqarah 198: Fa idza afadhtum min `arafatin fa dzkuru
l-Laha `inda l-masy`ari l-haram (Maka ketika kamu membanjir dari Arafah,
berzikirlah kepada Allah di Masy`ar al-Haram). Rasulullah saw. mengajak
Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qashwa'. Di zaman
jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan
Arafah dengan setengah berlari maka Rasulullah melarang cara yang
tergopoh-gopoh ini. "Tenang, tenang, sebagaimana tenangnya jiwa. Hendaklah yang kuat di antaramu membantu dan mengawasi yang lemah," demikian sabda beliau.
Sesampai
di Muzdalifah, Rasulullah saw. dan rombongan menunaikan salat magrib
dan isya secara jama` dan qasar. Rasulullah dan sebagian besar jemaah
haji bermalam di Muzdalifah, tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang
lemah, wanita, dan anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam
supaya dapat melontar jumrah sebelum massa membanjir datang. Sawdah,
istri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu
juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah mengizinkan
dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu
Rasul yang masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil-Muttalib. Di
kemudian hari, Abdullah ibn Abbas ini (nama populernya Ibnu Abbas)
menjadi salah seorang perawi hadis yang termasyhur.
Sesudah
salat subuh di Muzdalifah, Rasulullah saw. memimpin jemaah haji menuju
Mina. Kini yang beliau ajak membonceng di punggung Al-Qashwa' adalah
sepupu beliau Fadhil ibn Abbas (kakaknya Abdullah). Ketika melewati
lembah Muhassir, Rasulullah menyuruh para jemaah haji mempercepat
langkah seraya bersabda, "Bersegeralah melewati Muhassir sebab di lembah ini ashhabu l-fil (pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil."
Pada
hari Sabtu, 10 Zulhijah (7 Maret), pagi hari Rasulullah saw. sampai di
Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan
langsung menuju Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada
musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis di
atas jumrah, Rasulullah saw. menerima ikrar sumpah setia dari para
wakil masyarakat Anshar (suku Aws dan Khazraj) yang mengundang beliau
untuk berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.
Berbeda
dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang terletak di lapangan terbuka,
Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampung batu
lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan
di Jumrah Aqabah cuma setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit.
Di kemudian hari, meskipun bukit Aqabah sudah dipapas rata dengan tanah,
umat Islam "tidak berani" menjadikan penampung batu lontaran di Jumrah
Aqabah sebagai lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain, mungkin
karena takut dianggap bid`ah. Sampai sekarang, Jumrah Aqabah dibiarkan
tetap dikelilingi setengah lingkaran.
Pada
tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah saw. melakukan berbagai manasik
dengan urutan sebagai berikut: Rasulullah melontar Jumrah Aqabah dengan
batu kerikil sebanyak tujuh kali, dan beliau bertakbir pada setiap
lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan secara maksimal terhadap
godaan setan. Sesudah melontar beliau berdoa, Allahuma j`alhu hajjan
mabruran wa sa`yan masykuran wa dzanban maghfuran (Ya Allah, jadikanlah
manasik ini membuahkan haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan dosa
yang terampuni). Kemudian Rasulullah menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor
unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih
oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah saw. melakukan tahallul
dengan menyuruh Khirasy, yang mencukur beliau ketika umrah tahun 7
Hijriah, untuk mencukur kepala beliau. Yang mengharukan adalah ketika
Rasul dicukur Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti
rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke
muka mereka sambil menangis karena menyesali perbuatan mereka sebelum
masuk Islam.
Selanjutnya,
Rasulullah saw. pergi ke Makkah untuk melakukan tawaf mengelilingi
Kakbah. Setelah salat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu,
Rasulullah mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan),
tanggal 10 Zulhijah itu beliau tidak melakukan sa`i di antara Safa dan
Marwah. Sa`i beliau cukup satu kali tanggal 4 Zulhijah yang sudah
mencakup sa`i haji dan umrah. Akan tetapi, sebagian besar para sahabat
melakukan sa`i tanggal 10 Zulhijah atau sesudahnya karena mereka
mengambil cara Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul. Inilah sa`i haji
bagi para sahabat yang Tamattu` sebab sa`i mereka tanggal 4 Zulhijah
adalah sa`i umrah saja dan belum sa`i haji.
Rasulullah
saw. memberikan kelonggaran pada jemaah haji untuk melakukan
manasik-manasik di atas dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar
jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawaf
dan sa`i boleh dilakukan secara acak, tidak usah berurutan. Para jemaah
haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan. Bahkan,
manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada Hari Nahar
(10 Zulhijah). Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada Hari-Hari
Tasyriq (11-13 Zulhijah). Tawaf dan sa`i boleh dilakukan pada Hari-Hari
Tasyriq, bahkan boleh dilakukan sesudah jemaah pulang dari Mina asalkan
masih dalam bulan Zulhijah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini:
dari Muzdalifah jemaah haji langsung ke Makkah melakukan tawaf dan sa`i,
lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwah, kemudian baru
ke Mina untuk melontar jumrah atau menyembelih hadyu. "Kerjakan saja, tidak apa-apa."
If`al, la haraj, demikianlah selalu jawaban Rasulullah saw. ketika
beliau ditanya oleh para jemaah mengenai urutan manasik-manasik di atas.
Apa
pun urutan manasik yang dipilih oleh jemaah haji, Rasulullah saw.
menginstruksikan jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam
Hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat
menginap. Rasulullah mengizinkan paman beliau, Abbas ibn Abdil-Muttalib,
bermalam di Makkah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk jemaah
haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di
malam hari diberi izin oleh Rasul untuk tidak menginap di Mina.
Pada
tanggal 11 dan 12 Zulhijah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah saw.
dan para jemaah haji melontar secara berturut-turut Jumrah Ula, Jumrah
Wustha, dan akhirnya Jumrah Aqabah, masing-masing tujuh lontaran. Beliau
berdoa sesudah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera
pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran
bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di
malam hari. Juga bagi orang yang sakit, lanjut usia, lemah, atau wanita
hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.
Di
masa jahiliyah kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina
untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang
masing-masing. Rasulullah saw. melarang kebiasaan takabur ini dan
menggantinya dengan zikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Baqarah 200: Fa idza qadhaitum manasikakum fa dzkuru
l-Laha ka dzikrikum aba'akum aw asyadda dzikra (Maka ketika kamu telah
menunaikan manasikmu, berzikirlah kepada Allah seperti menzikiri
bapak-bapakmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya).
Rasulullah
saw. juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi jemaah haji untuk
memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai
dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 203: Fa man ta`ajjala fi yaumaini fa la itsma `alayhi wa man ta'akhkhara fa la itsma `alayhi, li manittaqa (Barangsiapa
yang bergegas dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa
yang belakangan juga tiada dosa baginya, yang penting mereka takwa).
Jadi
pada tanggal 12 Zulhijah sore hari jemaah haji boleh melakukan nafar
awwal (pulang duluan) meninggalkan Mina pulang ke Makkah. Mereka yang
ingin nafar awwal harus sudah berada di luar Mina sebelum magrib. Jika
saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil nafar tsani (pulang
rombongan kedua), yaitu harus bermalam di Mina dan melontar lagi tiga
jumrah tanggal 13 Zulhijah, baru pulang ke Makkah. Sebagian sahabat
memilih nafar awwal dan sebagian lagi memilih nafar tsani. Adapun
Rasulullah saw. melakukan nafar tsani, pulang ke Makkah tanggal 13
Zulhijah.
Pada malam 14 Zulhijah, Rasulullah saw. menyuruh istri beliau, Aisyah, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. "Inilah pengganti umrahmu yang gagal,"
sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan`im dengan ditemani
adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar, lalu mereka berdua melakukan tawaf
dan sa`i sehingga ber-tahallul di Marwah. Pengalaman Aisyah yang
melakukan Haji Ifrad (haji dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh para
ulama di kemudian hari untuk membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan
penduduk Makkah dan tidak membawa hadyu. Juga pengalaman Abdurrahman ibn
Abi Bakar yang berumrah lagi dijadikan dasar untuk membolehkan umrah
sunah di musim haji dengan berihram dari Tan`im. Akan tetapi, ada juga
para ulama yang berpendapat bahwa jemaah yang tidak membawa hadyu harus
melakukan Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad
lantaran haid) serta umrah sunah di musim haji tidak dicontohkan Rasul
dan para sahabat (umrahnya Abdurrahman lantaran menemani kakaknya).
Wallahualam.
Sesudah
salat subuh hari Rabu 14 Zulhijah (11 Maret), Rasulullah saw. dengan
istri-istri beliau, kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari
sebelumnya melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), lalu mereka kembali
ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berada lama-lama di Makkah sebab
pekerjaan beliau selaku Kepala Negara harus segera beliau rampungkan.
Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabiulawal 11 Hijriah
(8 Juni 632), Rasulullah saw. berpulang ke Rahmatullah. Sesungguhnya
kita milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita akan kembali.
Demikianlah
kisah ibadah haji dari Nabi Ibrahim a.s. sampai Nabi Muhammad saw.
Marilah kita menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu Rukun
Islam. Di samping untuk melaksanakan perintah Allah, ibadah haji juga
sangat banyak manfaatnya bagi kita, sesuai dengan firman Allah dalam
Al-Hajj 28: li yasyhadu manafi`a lahum (agar mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka). Rasa nikmat menunaikan ibadah haji sungguh luar
biasa dan tidak dapat diceritakan, melainkan hanya dapat dirasakan
sendiri.
Oleh Drs. H. Irfan Anshory
Tidak ada komentar:
Posting Komentar