RUMAH
ALLAH (Baitullah) di Makkah sebagai pusat pengabdian manusia kepada
Allah SWT telah direncanakan oleh Allah sendiri puluhan abad sebelum
Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan. Sekitar 4000 tahun yang silam, Allah
memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. untuk membawa istrinya, Hajar, dan putra
mereka, Isma`il, meninggalkan Kana’an (Palestina) ke arah selatan,
menuju sebuah lembah yang bernama Baka atau Bakkah. Oleh karena mim dan
ba sama-sama huruf bibir (bilabial), nama Bakkah lama-kelamaan berubah
menjadi Makkah. Dalam bahasa anak-anak Ibrahim (Arab dan Ibrani), kata
baka mempunyai dua arti: ‘lembah air mata’ dan ‘pohon balsam’. Arti yang
pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seolah-olah
tidak memberikan harapan, dan arti yang kedua berhubungan dengan
banyaknya pohon balsam (genus Commiphora) yang tumbuh di sana.
Apakah
keistimewaan lembah Bakkah itu? Ternyata lembah itu merupakan lokasi
Rumah Allah yang didirikan oleh generasi pertama umat manusia dari zaman
Nabi Adam a.s., sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam Surat Ali Imran
96: “Sesungguhnya Rumah Allah Pertama yang didirikan untuk manusia
benar-benar terletak di Bakkah yang diberkati dan petunjuk bagi seluruh
alam”. Pada masa Nabi Ibrahim a.s. lembah itu sudah ditelantarkan, tiada
manusia yang menghuni, dan Rumah Allah yang pertama itu hanya tinggal
fondasinya saja. Ada cerita yang mengatakan bahwa Rumah Allah itu hancur
oleh banjir pada zaman Nabi Nuh a.s. Bagaimana kejadian yang
sebenarnya, hanya Allah yang tahu.
Kisah
Hajar dan Isma`il dikumpulkan dan ditulis oleh sejarawan Muhammad ibn
Jarir ath-Thabari (wafat 310 Hijri atau 922 Masehi) berdasarkan
hadits-hadits shahih dalam bukunya yang termasyhur, Tarikh ar-Rusul wa
l-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Para Penguasa), Jilid 1: “Ketika
mendapat perintah dari Allah menuju Rumah-Nya, Ibrahim pergi bersama
Hajar dan Isma`il disertai malaikat Jibril. Mereka sampai di Makkah yang
cuma ditumbuhi pohon akasia, balsam dan semak berduri. Baitullah saat
itu tinggal dasarnya berupa lempung merah. Jibril berkata, ‘Allah
memerintahkan engkau untuk meninggalkan mereka.’ Ibrahim membawa Hajar
dan Isma`il ke Hijir (di samping Ka`bah sekarang) dan membuat tenda di
sana. Lalu Ibrahim berdoa: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku menempatkan
keturunanku di lembah yang tiada tumbuhan berbuah, di samping Rumah-Mu
yang suci, agar mereka tetap menegakkan shalat. Maka jadikanlah hati
manusia berpaling kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari
buah-buahan, agar mereka bersyukur’ (Surat Ibrahim 37). Ketika Ibrahim
akan pergi, Hajar bertanya, ‘Apakah perintah Allah yang membuatmu
meninggalkan kami?’ Ibrahim menjawab, ‘Ya.’ Maka Hajar berkata, ‘Jika
demikian tentu Allah tidak meninggalkan kami untuk binasa.’ Lalu Ibrahim
kembali ke Kana’an, meninggalkan mereka berdua di Rumah Allah.”
Masih
kutipan dari Thabari: “Isma`il menangis karena sangat kehausan. Hajar
memasang telinga untuk mendengar suara yang mungkin membantunya
memperoleh air. Dia mendengar suara di bukit Safa, lalu pergi ke sana
tetapi tidak menemukan air. Lalu dia mendengar suara di bukit Marwah.
Dia pergi ke sana, juga tidak menemukan apapun. Hajar kembali ke Safa,
lalu balik lagi ke Marwah, dengan tidak merasa letih supaya anaknya
dapat minum.”
Kitab Taurat, Bereshith (Genesis) 21 : 17-19, melengkapi kisah ini: “Dan
Allah mendengar suara anak itu, dan malaikat Allah memanggil Hajar dari
langit dan berkata kepadanya, ‘Apakah yang engkau susahkan, Hajar?
Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat
dia berbaring. Bangunlah, angkatlah anak itu dan bimbinglah dia, sebab
Aku akan menjadikannya bangsa yang besar.’ Dan Allah membuka mata Hajar
dan dia melihat sebuah mata air. Dia pergi mengisi kirbat kulitnya
dengan air, lalu memberi anak itu minum.”
Kembali
kepada uraian Thabari: “Ketika Hajar sampai di Marwah setelah tujuh
kali bolak-balik, tiba-tiba dia mendengar suara gemuruh dari lembah
tempat dia meninggalkan Isma`il. Dia berlari menuju anaknya, dan
mendapati mata air memancar dekat tempat dia berbaring. Hajar mengisikan
air ke kirbat kulitnya sambil berseru, ‘Zummi, zummi’. Ada yang mengatakan bahwa itu bahasa Mesir purba yang artinya ‘Berkumpul, berkumpul.’
Mungkin juga itu hanya ucapan Hajar menirukan bunyi air yang memancar.
Hanya Allah yang Maha Tahu, tetapi dari ucapan Hajar itulah asal nama
telaga Zamzam.”
Adanya
sumber air berupa telaga Zamzam membuat tempat itu layak dihuni. Maka
datanglah rombongan suku Jurhum memohon izin kepada Hajar dan Isma`il
untuk menetap di sana. Lambat laun lembah Makkah itu tumbuh menjadi
suatu pemukiman. Pada waktu-waktu tertentu, secara rutin Ibrahim dari
Kana’an datang ke Makkah mengunjungi istri dan anak beliau.
Ketika
Isma`il berusia 13 tahun datanglah ujian dahsyat yang tiada tara. Allah
memerintahkan Ibrahim agar berqurban menyembelih putranya yang
satu-satunya itu! Sungguh suatu ujian yang sangat berat, namun karena
itu perintah Allah maka Ibrahim menyanggupinya. Ketika perintah Allah
itu disampaikan Ibrahim kepada sang anak, Isma`il yang masih remaja itu
menjawab: “Wahai ayahanda, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah. Insya Allah ayah akan mendapatiku sebagai anak yang sabar”, sebagaimana tercantum dalam Surat Ash-Shaffat 102.
Ibrahim
membawa Isma`il ke suatu bukit di sebelah timur Makkah, tempat yang
sekarang bernama Mina. Tiga kali Iblis menggoda Ibrahim untuk
membatalkan rencananya, tiga kali pula Ibrahim menolak godaan Iblis
dengan lontaran kerikil. Tindakan Ibrahim ini kelak diabadikan dalam
salah satu manasik (tatacara) haji, yaitu melontar tiga jumrah di Mina.
Setelah Isma`il direbahkan pada batu landasan penyembelihan, dan pedang
Ibrahim telah siap hendak menyentuh leher putranya, maka Allah berfirman
agar Ibrahim mengganti sembelihannya dengan seekor domba. Firman Allah
dalam Ash-Shaffat 106-107: “Sesungguhnya ini benar-benar hanya ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor domba yang besar”.
Ibrahim
tidak kehilangan putra, bahkan putranya bertambah satu lagi, sebab
setelah peristiwa ujian qurban itu Allah memberikan kabar gembira bahwa
istri pertamanya, Sarah, akan memberinya putra yang bernama Ishaq (dalam
bahasa Arab) atau Yitshaq (dalam bahasa Ibrani), sebagaimana
diterangkan dalam Ash-Shaffat 112: “Kami gembirakan dia dengan Ishaq, seorang nabi yang saleh”. Ishaq kelak menurunkan bangsa Ibrani, sedangkan Isma`il kelak menurunkan bangsa Arab, terutama suku Quraisy di Makkah.
Kemudian
turunlah perintah Allah kepada Ibrahim a.s. dan Isma`il a.s. untuk
membangun atau merenovasi Rumah Allah (Baitullah), dengan meninggikan
fondasi yang memang sudah ada. Surat Al-Baqarah 127 memberikan
informasi: “Ibrahim meningkatkan fondasi Al-Bait bersama Isma`il”.
Oleh karena bangunan Rumah Allah yang didirikan Ibrahim dan Isma`il itu
berbentuk ‘kubus’ (ka`bah dalam bahasa Arab), lama-kelamaan Rumah Allah
yang berukuran 12 x 10,5 x 15 meter itu dikenal dengan sebutan Ka`bah.
Di depan Ka`bah, Nabi Ibrahim a.s. membuat maqam (‘tempat berdiri’)
untuk shalat menghadap Allah. Allah SWT mengabadikan tempat berdiri
Nabi Ibrahim a.s. di depan Ka`bah itu sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Baitullah. “Ambillah Maqam Ibrahim menjadi tempat shalat”,
demikian tercantum dalam Surat Al-Baqarah 125. Sebagai catatan, istilah
maqam (makam) dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut ‘kuburan’
(karena pengaruh ajaran tasawuf bahwa orang yang wafat telah mencapai
maqam tertinggi), sehingga ada jemaah haji yang menyangka Maqam Ibrahim
sebagai ‘kuburan Nabi Ibrahim’, padahal kuburan beliau terletak di Al-Khalil (Hebron), daerah Tepi Barat, Palestina.
Setelah
Ka`bah rampung dibangun, barulah turun perintah Allah kepada Nabi
Ibrahim a.s. agar menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji. Istilah
hajj dalam bahasa Arab serta hagg dalam bahasa Ibrani (huruf Arab ha dan
jim identik dengan huruf Ibrani heth dan gimel) berarti ‘berkunjung ke
Rumah Tuhan’. Surat Al-Hajj 27 merekam firman Allah kepada Nabi Ibrahim
a.s.: “Panggillah manusia untuk berhaji.
Mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan segala jenis
kendaraan, datang dari segenap penjuru yang jauh”.
“Tunjukkanlah kepada kami tatacara haji bagi kami”,
demikian permohonan Nabi Ibrahim a.s. kepada Allah SWT yang tercantum
dalam Surat Al-Baqarah 128. Maka Allah mengajarkan tatacara (manasik)
ibadah haji kepada Nabi Ibrahim a.s. Manasik haji yang pertama-tama
adalah ihram, artinya ‘mengharamkan’ atau ‘mensucikan’, yaitu mengenakan
pakaian ihram serta tidak melakukan larangan-larangan ihram. Begitu
jemaah haji menginjakkan kaki di Tanah Haram (Tanah Suci), mereka harus
sudah meninggalkan dan menanggalkan pakaian mereka sehari-hari dan
menggantinya dengan kain ihram. Ini suatu perlambang bahwa di Rumah
Allah manusia harus bersedia membebaskan diri dari segala atribut
kekayaan, jabatan dan status sosial yang disandangkan orang kepadanya
dalam kehidupan sehari-hari. Di hadapan Sang Khaliq semua manusia tanpa
kecuali, baik penguasa maupun rakyat jelata, berstatus sama yaitu Hamba
Allah.
Kemudian
para jemaah haji harus melakukan wuquf (‘berdiam, jambore’) di Padang
Arafah, sekitar 25 km di sebelah timur Makkah. Inilah upacara gladi
resik berkumpulnya umat manusia di Padang Mahsyar pada Hari Akhirat
nanti, sekaligus para jemaah haji melakukan ‘reuni’ di tempat pertemuan
Adam dan Hawa setelah kedua nenek moyang umat manusia ini terusir dari
Taman Eden (Jannatu `Adn). Itulah sebabnya tempat wuquf itu dinamai
Padang Arafah, artinya ‘Padang Pengenalan’, agar manusia mengenali
kembali persaudaraan sebagai sesama anak cucu Adam dan Hawa. Perintah
wuquf di Arafah tercantum dalam Al-Baqarah 199: Afidhu min haitsu afadha
n-nas (“Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia”). Arafah
dijuluki Allah sebagai ‘tempat membanjirnya manusia’, sebab di tempat
ini Adam dan Hawa pertama kali menurunkan generasi pertama umat manusia
(Homo sapiens) yang kemudian—seperti air keluar dari sumbernya—membanjir
berkembang biak menjadi lebih dari 6 miliar jiwa pada awal abad ke-21
sekarang. Jadi, kepergian jemaah haji ke Arafah pada hakikatnya adalah
‘mudik ke kampung asal nenek moyang’!
Dengan
melakukan wuquf, jemaah haji diharapkan menyadari bahwa umat manusia
yang bermacam-macam warna kulit, bahasa dan adat-istiadat ternyata
adalah saudara sedarah dan seketurunan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Hujurat 13: “Wahai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki
(Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian Kami menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (li
ta`arafu, satu akar kata dengan`arafah). Sesungguhnya yang paling mulia
di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu sekalian.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengawasi.”
Dengan
penegasan Allah SWT ini maka segala bentuk diskriminasi tidak mendapat
tempat dalam masyarakat Islam. Agama Islam menentang habis-habisan faham
rasialisme dan chauvinisme. Para penganut faham rasialisme memiliki
rasa keunggulan ras dengan merendahkan ras-ras lainnya. Inilah yang
dipraktekkan oleh bangsa Yahudi dan kaum Nazi, atau yang pernah
diperbuat oleh orang Amerika terhadap Indian dan Negro, atau seperti
pernah dilakukan orang kulit putih di Afrika Selatan dengan politik
apartheidnya terhadap kulit berwarna. Yang identik dengan faham
rasialisme adalah faham chauvinisme, yaitu faham kebangsaan yang sempit
dan fanatik sehingga menganggap bangsanya lebih tinggi dari
bangsa-bangsa lain. Faham inilah yang melahirkan imperialisme dan
kolonialisme, penjajahan bangsa atas bangsa, serta menyeret manusia ke
dalam dua kali Perang Dunia.
Adapun
ajaran Islam sejak semula meniadakan dinding rasial dan jenis manusia,
lalu mengembalikan manusia itu kepada asal yang satu. Semua manusia
berhak untuk berhimpun di bawah perlindungan ajaran Islam tanpa
memandang warna kulit dan asal-usul keturunan, bahkan juga tanpa
memandang agama dan keyakinan! Islam tidak mengenal batas teritorial,
sebab bumi seluruhnya kepunyaan Allah dan segala isinya disediakan Allah
untuk manusia. Namun hal ini tidaklah berarti Islam menghapuskan idea
kebangsaan (nasionalisme). Menurut Surat Al-Hujurat ayat 13 tadi, adanya
manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah kehendak Allah. Dalam
ajaran Islam, faham nasionalisme dipelihara dengan makna yang baik,
yaitu bersatu untuk mencapai tujuan bersama dari seluruh anggota bangsa
itu, serta menjalin hubungan baik dan saling membantu dengan
bangsa-bangsa lain.
Selanjutnya
para jemaah haji harus melakukan thawaf, yaitu mengelilingi Ka`bah
sebanyak tujuh putaran. Inilah tarian kosmos, sebab seluruh isi alam
semesta selalu dalam keadaan berthawaf. Jemaah haji meniru gerakan
elektron-elektron yang berthawaf mengelilingi inti atom serta gerakan
planet-planet yang berthawaf mengelilingi matahari. Alam semesta hanya
eksis karena gerakan thawaf! Hari Kiamat akan terjadi ketika thawaf alam
semesta berhenti.
Seluruh
materi di jagat raya, dari partikel-partikel penyusun atom sampai
benda-benda langit, senantiasa tunduk-patuh kepada hukum-hukum Ilahi
yang mengatur mereka. Dengan melakukan thawaf, diharapkan manusia
sebagai bagian alam semesta menyadari bahwa mereka pun seharusnya
tunduk-patuh kepada aturan-aturan Allah sebagaimana tunduk-patuhnya
seluruh isi langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Alu Imran 83: “Apalagi yang mereka cari
selain agama Allah, padahal kepada-Nya telah Islam (tunduk-patuh) segala
yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa, dan
kepada-Nya mereka akan dikembalikan.”
Sesudah
melakukan thawaf, jemaah haji harus melakukan sa`i, meniru gerakan
Hajar bolak-balik tujuh kali untuk mencari air antara bukit Safa dan
bukit Marwah. Kata sa`i berarti ‘usaha’. Ternyata Hajar baru memperoleh
anugerah air Zamzam dari Allah setelah dia melakukan sa`i (usaha) yang
maksimal. Dengan melakukan sa`i, diharapkan manusia menyadari bahwa
kesuksesan dan kejayaan hanya dapat diraih melalui usaha atau perjuangan
maksimal, bukan dengan sekadar berdoa sambil berpangku tangan tanpa
aktivitas. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam An-Najm 39-40:
“Bahwa manusia tidak memperoleh apa-apa kecuali apa yang diusahakannya
(ma sa`a), dan bahwa usahanya (sa`yahu) akan segera terlihat nyata.”
Mengapa
thawaf dan sa`i harus tujuh kali? Perlu diketahui bahwa Nabi Ibrahim
a.s. berasal dari Mesopotamia (Iraq sekarang), dan masyarakat
Mesopotamia dahulu memakai sistem bilangan dasar enam. Merekalah yang
mewariskan kepada kita pembagian lingkaran menjadi 360 derajat,
pembagian satu hari menjadi 24 jam, satu derajat dan satu jam menjadi 60
menit, dan satu menit menjadi 60 detik. Sistem ini menjadikan bilangan
‘tujuh’ sebagai sesuatu yang istimewa. Bilangan 60 habis dibagi 1, 2, 3,
4, 5 dan 6, tetapi tidak habis dibagi tujuh. Itulah sebabnya satu pekan
harus tujuh hari, dan sesuatu yang maksimal harus dinyatakan dalam
jumlah tujuh. Oleh karena Allah berkomunikasi melalui wahyu-Nya dalam
bahasa Nabi yang bersangkutan, maka manasik (tatacara) haji yang
disyari`atkan kepada Nabi Ibrahim a.s. banyak melibatkan bilangan
tujuh—sebagai perlambang hal yang maksimal—seperti tujuh putaran thawaf,
tujuh bolak-balik sa`i, dan tujuh lontaran terhadap jumrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar